My Maria

Selasa, 22 Februari 2011

Sendratari

1.  Pengertian
Drama tari atau yang biasa disebut dengan sendratari adalah salah satu bentuk tari dramatik yang ada di Indonesia. Menurut Soedarsono (1978: 16) drama tari adalah tari yang bercerita , baik tari itu dilakukan oleh seorang penari maupun oleh beberapa orang penari, sedangkan tari non dramatik adalah tari yang tidak bercerita.
Kata sendratari merupakan singkatan dari seni, drama dan tari yang berarti seni drama yang ditarikan. Ciri khas yang terdapat dalam sendratari terletak pada media pengutaraan ceritanya yang menggunakan tari dan musik (gamelan) tanpa ada dialog atau antawecana. Sebagai media pengutaraan maksud dari cerita, gerak dan suasana dramatari maka kedudukan atau keberadaan iringan sangat diperlukan. Dalam hal ini penggunaan bentuk gendhing atau iringan harus disesuaikan dengan tema dan suasana dalam satu adegan sendratari. Misalnya bentuk gendhing gagah digunakan pada saat keluarnya tokoh raja dan dapat juga menggunakan iringan dengan bentuk gendhing ladrang sabrangan yaitu ketika tokoh raja tersebut mengekspresikan kegagahannya. Bisa juga menggunakan bentuk gendhing ladrang irama I ataupun bentuk liwung dengan kendhangan kiprahan dan tayungan.






















Salah satu bentuk sendratari yang sampai sekarang masih digemari oleh masyarakat adalah dramatari yang mengadopsi atau mengambil cerita dari kitab Ramayana dan kitab Mahabharata. Dramatari tersebut sengaja disajikan tanpa dialog dan narasi, sajian kisahnya hanya dilakukan melalui ekspresi gerak tari semata. Melalui ekspresi tersebut diharapkan para penonton asing yang tidak paham bahasa Jawa dan bahasa Indonesia akan mampu menyerap pesan kisahnya atau cerita yang ingin disampaikan.
1.  Tari dramatik yang ada di Indonesia
a)     Wayang Wong dari Jawa Tengah, 
b)     Langen Mandrawanaran dari Yogyakarta, 
c)      Langendriyan dari Surakarta,
d)     sendratari dari Bali,
e)     Sumatra dan daerah lainnya.

2.  Langendriyan
Opera-drama-tari ini berkembang pada paruh kedua abad ke-18 di Surakarta dan Yogyakarta. Adalah menantu Sri Mangkunegara IV (1853-1881) yang menggubah gaya Surakarta, sedangkan Raden Tumenggung Purwa-diningrat dan Pangeran Mangkubumi menciptakan gaya Yogyakarta pada 1876.
Menurut versi Kasunanan Surakarta, yang mengilhami bentuk teater tradisional ini ialah tradisi ura-ura atau menembang yang dilakukan buruh batik di perusahaan milik Godlieb, daerah Pasar Pon, Solo. Selama pementasannya, seniman langendriyan menguras stamina luar biasa sebab sepanjang pertunjukan mereka menari sambil berjongkok dan sesekali bertumpu pada lutut. Selain itu, langendriyan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga menuntut kemampuan yang prima dari seniman pendukungnya, mulai dari olah tari, vokal, hingga kemampuan teater.
Langendriyan mengambil lakon Damar-wulan, sebuah roman sejarah tentang perjuangan Ratu Ayu Kencanawungu dari Majapahit, Jawa Timur, yang berusaha mengatasi pemberontakan Menakjingga, Bupati Blambangan. Sama seperti teater tradisional Jawa lainnya, langendriyan diiringi orkestra gamelan, dengan dialog para pemain menggunakan tembang Jawa.
Adapun di Yogyakarta, kisah yang diambil yaitu Ramayana. Dan, karena banyaknya tokoh kera (wanara) maka pertunjukan disebut langen-mandrawanara. Sesuai dengan perkembangan zaman, banyak sentuhan baru diberikan pada opera Jawa ini. Dekade 1970 dan 1980 ialah momentum saat langendriyan mendapat sentuhan dari koreografer Jawa seperti Sardono W Kusumo, Retno Maruti, dan Sal Murgiyanto.
Pentas seni
Mereka memadukan langendriyan dengan bedaya dan wayang wong supaya tercipta dramatisasi lain di atas pentas. Kolaborasi tersebut selanjutnya dikenal dengan sebutan langenbeksa. Selain langendriyan, Jawa-utamanya Jawa Tengah-mengenal teater tradisional lain, yakni wayang wong, golek menak, dan sendratari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar